Milenial

Rahasia Psikologi Mengapa Orang Membeli Barang Mewah

barang  mewah membawa kebanggaan tersendiri

Ajaib.co.id – Syal sutra rancangan Burberry, jam tangan mahal rancangan Audemars Piguet, atau mobil Ferrari 308 GTS merupakan kumpulan barang mewah yang menjadi idaman bagi beberap orang. Barang-barang yang dijual dengan harga fantastis tersebut dianggap mampu membentuk status sosial yang diinginkan oleh pemiliknya. Jika salah satu temanmu memiliki salah satu barang tersebut, kamu mungkin akan langsung mengasosiasikannya dengan kaya raya.

Bagi orang tersebut, membeli barang mewah sudah merupakan hal yang biasa, bahkan sama lazimnya seperti membeli pakaian di salah satu ritel fast fashion ternama. Daya tariknya tidak dapat disangkal, misalnya tas kulit yang lembut, logonya mencolok dan menampilkan kemewahan, hingga label harganya yang fantastis. Jika kamu memiliki gaji yang tinggi atau kebiasaan menabung yang disiplin, membeli barang-barang tersebut tentu bukanlah hal sulit. Lain cerita jika kamu adalah seorang fresh graduate dengan penghasilan yang kecil untuk membeli barang mewah tersebut.

Mungkin kamu bertanya-tanya, tidak semua barang-barang rancangan desainer atau kolaborasi dengan sebuah artis mencerminkan harga aslinya, terkadang ada barang mewah yang dari rancangannya tidak berbanding lurus dengan harganya, tapi mengapa orang-orang tetap membelinya? Apa yang mendasari individu membeli barang yang harganya tidak masuk akal? Berikut beberapa alasan membeli barang mewah yang dilansir dari investopedia.com.

Sejumlah Konsumen Tidak Berpikir Rasional

Tidak semua konsumen berpikir rasional. Orang yang sangat rasional akan selalu bertindak dan mengambil keputusan sesuai dengan akal dan logika; dengan kata lain, orang yang sangat rasional akan selalu bertindak hati-hati dan peluang untuk membeli sesuatu yang tidak penting seperti barang mewah sangat kecil. Mereka akan bertanya ratusan kali pada diri sendiri setiap ingin membeli sesuatu. Apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau ini hanya impulsive buying?

Namun, banyak dari studi psikologi modern yang mengungkapkan bahwa manusia tidak selalu bertindak rasional. Hal ini berlaku dalam mengelola keuangan.

Banyak konsumen yang membeli barang yang harganya sangat mahal tidak dalam posisi keuangan yang mendukung untuk membelinya. Terbukti dari tingginya tingkat utang konsumen dari penggunaan kartu kredit. Fenomena ini mungkin menjadi bukti bahwa banyak orang dewasa tidak selalu bertindak demi kepentingan finansial terbaik mereka.

Di saat tas dengan kualitas tinggi dan tahan lama dapat dibeli di harga sekitar $100 atau setara dengan Rp1,4 juta, beberapa orang cenderung memilih menghabiskan puluhan juta untuk memiliki tas rancangan desainer ternama seperti Dior, Channel, atau Louis Vuitton yang fungsi dan kualitasnya relatif sama.

Apakah barang yang harganya mahal benar-benar berkualitas tinggi?

Satu penjelasan yang mungkin menjawab mengapa individu membeli barang mewah adalah elemen positif yang ditawarkan suatu produk. Misalnya, dalam kasus produk milik Apple, konsumen yang bukan hanya generasi milenial tapi juga sampai generasi Y rela menunggu semalaman untuk mendapatkan produk Apple terbaru seperti iPhone, iPad, atau iMac. Ini terlepas dari dari kenyataan bahwa produk Apple tidak unik atau unggul secara teknologi.

Faktanya, Samsung membuat smartphone dengan fitur yang lebih baik dibandingkan kebanyakan iPhone, Microsoft Corporation, atau Xiaomi yang dikenal sebagai manufaktur smartphone entry level. Meskipun dianggap sebagai produk mewah, Apple memiliki tingkat loyalitas yang tinggi dibandingkan produsen smartphone lainnya, bahkan memecahkan rekor penjualan dari tahun ke tahun.

Hal ini dikarenakan beberapa orang menganggap barang non-mewah sebagai barang yang lebih rendah hanya karena barang tersebut lebih murah, mereka juga sampai pada kesimpulan yang tidak rasional bahwa barang dengan harga lebih tinggi memiliki kualitas yang lebih baik. Kesimpulan ini bertentangan dengan bukti, mungkin mereka percaya bahwa mereka mendapatkan sesuatu sesuai dengan harga yang dibayar, terlepas apakah barang tersebut benar-benar lebih baik dari barang kompetitornya.

Harga Diri Mempengaruhi Pembelian

Dalam beberapa kasus, harga diri yang rendah dapat menjadi faktor yang mempengaruhi mampu atau tidaknya konsumen membeli barang mewah, terutama jika mereka tidak dapat dengan mudah membayar harga barangmewah tersebut. Bagi sebagian konsumen, barang-barang yang harganya melebihi dari barang yang dijual pada umumnya dianggap dapat meningkatkan harga diri atau memberikan rasa memiliki.

Terlebih ketika meningkatkan aktivitas berbelanja karena menjamurnya e-commerce, hanya perlu online shopping lalu melakukan 1 hingga 2 klik untuk langsung mendapatkan sebuah syal seharga $500 atau sekitar Rp7 juta. Bagi mereka, pembelian ini merupakan terapi ritel terbaik. Internet memberikan keuntungan yang sangat besar bagi merek-merek mewah yang menjual produknya karena mudah diakses konsumen.

Rasa pencapaian adalah alasan lain mengapa beberapa orang membeli barang bermerek tersebut yang membantu kesehatan mental mereka. Mereka ingin menghargai diri sendiri atas kerja keras mereka dengan memperlakukan diri sendiri membeli barang yang kebanyakan orang tidak mampu membelinya.

Masalah Keaslian

Ada alasan mengapa orang mungkin tidak mau Rolex palsu dan membayar barang asli dengan harga yang fantastis (meski keduanya sangat mirip). Keduanya mungkin terlihat mirip, tapi pemiliknya tahu bahwa mereka tidak memiliki barang mewah yang nyata. Tampaknya ini bukan pilihan yang rasional; Jika kita membeli suatu barang untuk dipamerkan pada orang lain atau media sosial dan merasa diterima.

Para peneliti di Yale telah menemukan bahwa pencari keaslian berkembang sejak dini. Sebuah studi mencoba meyakinkan anak-anak bahwa sebuah mesin kloning telah menghasilkan mainan favorit dan faktanya anak-anak tersebut menolak untuk menerima duplikat sebagai mainan yang otentik.

Sentimentalitas, ingatan, atau perasaan dari barang otentik tersebutlah yang muncul sebagai bagian dari mencari keaslian sebuah barang. Dengan kata lain, bagi sebagian orang, memperlakukan diri sendiri dengan sepasang sepatu boots rancangan Christian Louboutin sama saja tidak menghargai diri sendiri.

Individu yang berasal dari beberapa generasi, mulai dari generasi Baby Boomers, generasi Millennial, hingga Gen-Z membeli barang-barang yang harganya mahal berkaitan dengan eratnya emosi yang dibangun pada barang tersebut. Meskipun seringkali membelinya tanpa berpikir panjang, penting bagi mereka untuk mulai disiplin dalam membeli barang yang harganya mahal sesuai dengan kondisi finansial.

Artikel Terkait