Ekonomi

Mengapa Utang Negara dilakukan? Ini Alasanya

Ajaib.co.id – Pasti sangat mudah untuk mengeluh atas menumpuknya utang yang dimiliki sebuah negara. Tapi rupanya bicara mengenai utang tidak melulu dalam konteks yang negatif. Ada baiknya kamu mengetahui hal paling mendasar dari perilaku utang yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan. 

Kementerian Keuangan telah memberikan sejumlah penjelasan hal apa yang mengharuskan sebuah negara seperti Indonesia berutang. Menurut penjelasan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), kalau utang itu merupakan salah satu instrumen keuangan negara.

Karena negara melakukan aktivitas belanja dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara serta peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. 

Hal ini dikaitkan dengan program-program yang menjadi fokus pelaksanaan sebuah negara pada periode tertentu. Misalnya, negara Indonesia dengan Presiden Jokowi sebagai kepala negaranya memiliki fokus program pada infrastruktur, sumber daya manusia, dan kesehatan.

Untuk memenuhi prioritas program ini membutuhkan sejumlah uang yang dihitung sedemikian rupa agar tujuan program bisa tercapai. Oleh karena itu, instrumen utang menjadi pilihan untuk memenuhi kekurangan dari belanja pemerintah dalam tahun anggaran yang tengah berjalan. 

Lalu apakah bisa sebuah negara tidak berutang?

Mengutip ucapan Scenaider, katanya sebuah negara bisa saja tidak perlu berutang. Namun tak dapat dipungkiri harus ada hal-hal lain yang disesuaikan  jika langkah tidak berutang tersebut yang ditempuh oleh sebuah negara.

Langkah tersebut berupa melakukan pengurangan belanja dan menyesuaikan dengan jumlah penerimaan negara. Adapun penerimaan negara dapat diperoleh dari perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maupun hibah. 

Sederhananya seperti ini, jika pemerintah mengurangi belanja maka ada program-program yang tidak terlaksana. Mengapa? karena belanjanya tidak dilakukan  atau ditunda terlebih dahulu. 

Untuk memahami lebih jauh alasan-alasan lain di balik sebuah negara yang berutang. Berikut Ajaib paparkan dua alasan umum dari utang negara yang ditempuh:

Penerimaan Negara Tidak Tentu

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kalau penerimaan negara bisa memengaruhi keputusan sebuah negara untuk tidak berutang. Namun, dengan pilihan menyesuaikan program prioritas pemerintah dengan penerimaan negara. 

Ibaratnya sebuah negara digambarkan dengan rumah tangga. Tentunya rumah tangga tersebut memerlukan alokasi anggaran untuk belanja kebutuhan dan keinginan keluarga pada periode tertentu. Hal yang sama untuk sebuah negara juga punya alokasi belanja yang dianggarkan secara rutin. Hal ini ditempuh agar semua kebutuhan warga negara dapat terpenuhi dengan baik. 

Adapun anggaran untuk belanja negara dapat diperoleh dari berbagai penerimaan negara seperti pajak, pendapatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), denda, retribusi, hingga hibah.

Tentunya jumlah anggaran negara tidak sama setiap tahunnya karena menyesuaikan dengan program prioritas pemerintah. Namun hal yang pasti, anggaran negara yang telah ditetapkan harus dipenuhi. Misalnya saja anggaran untuk membangun infrastruktur jalan dibutuhkan sebesar Rp6 triliun, Namun yang sanggup dipenuhi oleh negara kita hanya Rp3 triliun.

Maka dengan anggaran sebesar itu, pembangunan akan terhambat, sehingga hambatan tidak teratasi dan berlanjut pada arus logistik barang makin kesulitan padahal ini berkaitan dengan perputaran ekonomi. Secara langsung akan merugikan rakyat juga. 

Pertanyaan selanjutnya, kenapa penerimaan negara tidak mampu memenuhi anggaran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah? Jawabannya karena besaran perolehan dari penerimaan negara tidak pasti dan sangat bergantung pada kondisi ekonomi nasional dan internasional.

Hukumnya seperti ini, saat penerimaan negara rendah maka dibutuhkan instrumen untuk menutupi kekurangan anggaran. Adapun contoh instrumennya seperti, utang ke lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB) atau pinjaman dari negara lain.

Mengejar Ketertinggalan

Alasan selanjutnya karena sebuah negara ingin mengejar ketertinggalan. Misalnya dari negara berkembang ingin menjadi negara maju. Termasuk dalam konteks Indonesia yang masih negara berkembang dan ingin menjadi negara maju. Beberapa ketertinggalan yang harus dikejar seperti pada bidang infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). 

Ketertinggalan pada kedua bidang tersebut menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Meskipun memang harus menelan biaya yang tinggi. Sementara itu, benefit-nya baru akan dirasakan dalam jangka yang panjang, puluhan tahun kemudian.

Namun, pembangunan infrastruktur tetap harus dikejar agar setiap warga negara dapat melakukan mobilisasi dengan efisien. Mobilisasi sangat penting dalam mendongkrak perekonomian sebuah negara. 

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan pembangunan infrastruktur yang merata hingga ke pelosok negeri. Sehingga bisa memberikan kesempatan bagi seluruh warga negara di mana pun berada untuk menjemput kesempatan berkembang. Tentunya biaya logistik dan pengiriman barang juga semakin murah. 

Selain dari segi infrastruktur, kualitas pendidikan di Indonesia juga belum merata. Padahal pendidikan jadi unsur vital dan dasar untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Buktinya di berbagai pelosok daerah masih ditemukan banyak gedung sekolah yang rusak, kurangnya jumlah guru yang berkualitas, hingga rendahnya tingkat akses anak-anak ke pendidikan. 

Lalu bagaimana agar utang yang dimiliki Indonesia tidak membuat negara kolaps? 

Mengutip dari Mediaindonesia.com, seorang peneliti dari Indef, Media W. Askar menilai pemerintah Indonesia melakukan bahkan menambah utang negara adalah hal yang wajar, terlebih di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Di mana pemerintah perlu mengucurkan sejumlah stimulus untuk membantu rakyatnya dalam menghadapi pandemi yang belum diketahui kapan berakhirnya. Menurutnya yang terpenting, pemerintah sudah melakukan proses mitigasi sesuai kemampuan negara serta bisa membantu optimalisasi percepatan ekonomi. 

Menurutnya, dalam konteks pandemi seperti ini, penyesuain perlu dilakukan ulang. Tentu saja berutang selama ada proses mitigasi yang jelas dan disesuaikan dengan kemampuan negara bisa dioptimalkan untuk percepatan ekonomi. 

Hal serupa juga sempat dilontarkan oleh seorang ekonom senior Indef, Aviliani. Dia menilai rasio utang Indonesia masih belum berbahaya. Karena secara rasio utang maksimal 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menurutnya yang terpenting bagaimana menjadikan utang ini memiliki efek berganda atau multiplier effect ketika kondisi negara kembali normal atau membaik. 

Lebih lanjut ia menjelaskan sehingga nantinya ketika ada penerimaan pajak bisa naik dan negara mampu membayarkan utangnya. Menurutnya yang menjadi berbahaya saat tidak adanya kesinambungan visi dan misi pemerintahan pada setiap periode. Karena kan setiap periode kepemimpinan presiden ada arah kebijakan yang berbeda. Akibatnya pemasukan pajak tidak naik sehingga ketergantungan utang semakin meningkat. 

Menurutnya yang bahaya itu kalau negara kita gak bisa menambah penerimaan melalui pajak. Akhirnya gali lobang dan tutup lobang. Kalau  sudah gali lobang dan saat bonus demografi 2050 selesai lalu kita gak siap maka kita akan jadi negara gagal. Karena tidak bisa bayar utang. Sehingga menurutnya Indonesia masih bisa memiliki peluang melakukan lompatan kebijakan meski dengan tambahan utang sampai 2050 untuk pertumbuhan yang berkesinambungan,

Bagaimana sudah tergambarkan mengenai kenapa sebuah negara harus berutang? dan hal-hal seperti apa yang perlu dimitigasi sebelum memutuskan untuk berutang. Semoga bermanfaat ya!

Artikel Terkait