Ajaib.co.id – Pasca lelang surat utang negara (SUN) awal pekan ini, pergerakan harga obligasi pemerintah kembali menguat. Dalam lelang tersebut, jumlah penawaran yang masuk mencapai RP73,74 triliun.
Berdasarkan data Bloomberg yang diberitakan oleh bisnis.com, imbal hasil (yield) SUN tenor 10 tahun menyentuh level 7,84% hingga hari Rabu (13/5/2020). Posisi tersebut mengalami penurunan dibandingkan posisi Selasa (12/5/2020) yang berada pada level 7,90%.
Sementara itu SUN tenor 5 tahun juga mengalami penurunan, yakni dari 7,31 persen pada hari Selasa (12/5/2020), menjadi 7,21 persen pada hari berikurnya. Yield SUN tenor 15 tahun juga turun menjadi 8,15 persen dibandingkan posisi sehari sebelumnya pada 8,20%.
Untuk SUN tenor 20 tahun turun dari 8,24 persen menjadi 8,18 persen pada hari Rabu (13/5).
Perlu diketahui bahwa harga obligasi dan yield di pasar sekunder saling bertolak belakang. Kenaikan harga padaobligasi akan membuat posisi yield turun, begitu pun sebaliknya.
Kata Pengamat Mengenai Penguatan Obligasi Pemerintah
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan kepada bisnis.com, pergerakan harga obligasi didorong oleh nilai tukar rupiah yang menguat. Selain itu, adanya penawaran dalam lelang SUN pemerintah hingga Rp70 triliun lebih memberi sentimen positif.
“Setelah itu [lelang SUN] pasar cenderung menguat. Berarti, demand semakin banyak,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (14/5/2020).
Ramdhan menilai penguatan pada obligasi pemerintah juga didorong stimulus dan kelonggaran yang dilakukan pemerintah. Artinya, langkah yang ditempuh dianggap cukup mampu untuk menjaga perekonomian secara umum.
Seperti diketahui, pemerintah melaporkan total penawaran masuk senilai Rp73,74 triliun dalam lelang SUN, Selasa (12/5/2020). Jumlah yang dimenangkan pemerintah dalam lelang itu senilai Rp20 triliun.
Secara detail, penawaran terbanyak masuk untuk seri FR0082 senilai Rp30,41 triliun. Seri itu akan jatuh tempo pada 15 September 2030 dengan yield atau imbal hasil tertinggi yang masuk 9,00 persen.
Dari situ, jumlah nominal yang dimenangkan untuk FR0082 senilai Rp7,30 triliun. Imbal hasil rata-rata terimbang yang dimenangkan senilai 8,07 persen.
Di tempat terpisah, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus memproyeksikan pasar obligasi masih akan mengalami lanjutan penguatan. Menurutnya, penguatan obligasi RI akan sejalan dengan pergerakan nilai tukar rupiah.
Dia menyebut, pelaku pasar dan investor masih menaruh rasa optimis meskipun pemerintah memberikan restu untuk pelebaran defisit transaksi berjalan. Semula defisit transaksi berjalan dipatok 3 persen, kemudian digeser menjadi hingga 5 persen.
”Di tengah penerimaan pajak yang kian seret, tentu harus ada pendapatan lainnya untuk mengimbangi defisit tersebut dan tidak menutup kemungkinan, pemerintah akan mengeluarkan utang kembali,” tulisnya dalam laporan riset, Kamis (14/5/2020).
Moody’s: Ekonomi Terguncang, Perusahaan di Asia Mampu Lunasi Utang
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investors Service memperkirakan perusahaan ternama di Asia di luar Jepang sebagian besar mampu memenuhi kewajiban obligasi jatuh tempo senilai US$569 miliar hingga 2021.
Perusahaan tersebut dianggap mampu melunasi utang kendati perekonomian sedang lesu akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Sean Hwang, Moody’s Assistant Vice President mengatakan perusahaan berstatus investment grade atau layak investasi mencapai 70 persen atau US$400 miliar dari obligasi jatuh tempo pada 2021.
“Hal itu menunjukkan risiko refinancing yang lebih rendah karena kualitas kredit perusahaan yang baik,” ujarnya melalui siaran pers seperti dikutip bisnis.com pada hari Rabu (13/5/2020).
Sebagian besar obligasi yang akan jatuh tempo tersebut mayoritas berdenominasi mata uang lokal sehingga kecil kemungkinan terkena risiko kurs.
Di sisi lain, Moody’s mencatat 30 persen atau sekitar US$169 miliar dari obligasi jatuh tempo pada 2021 tersebut, merupakan perusahaan dengan tingkat imbal hasil atau yield tinggi. Mereka menghadapi kondisi refinancing yang kurang baik khususnya di pasar luar negeri offshore.
Lembaga pemeringkat internasional itu menuliskan mayoritas obligasi dengan yield tinggi yang akan jatuh tempo pada 2021 memiliki peringkat B1 atau di atasnya. Perusahaan-perusahaan itu sebagian besar harus mempertahankan akses ke pasar modal atau mempertahankan likuiditas untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.
“Perusahaan [dengan tingkat imbal hasil tinggi] berperingkat B2, atau di bawahnya memiliki tingkat risiko yang relatif lebih tinggi,” tulis Moody’s.