Ajiab.co.id – Penerbitan global bond korporasi maupun yang dilakukan pemerintah belakangan semakin marak, hal ini tidak lain karena didorong kebutuhan akan arus kas.
Mengacu pada data Bloomberg seperti yang dilaporkan bisnis.com, emisi global bond asal RI hingga hari Rabu (13/5/2020) mencapai US$15 miliar. Jumlah tersebut mengalami kenaikan tiga kali lipat jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Global bond tersebut sudah termasuk penerbitan yang dilakukan pemerintah senilai US$4,3 miliar pada awal April 2020 lalu. Ketika itu, pemerintah mengeluarkan tiga seri global bond yang mempunyai denominasi Dolar Amerika Serikat (AS).
Perkembangan Obligasi Korporasi
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis Indonesia, ada sejumlah korporasi yang berencana melakukan emisi obligasi. Salah satunya PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT). Emiten tersebut berencana menggalang dana global bond sebanyak-banyaknya US$500 juta dengan tujuan refinancing serta dalam rangka menambah modal kerja.
Sebelumnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mengeluarkan global bond dengan nama euro medium term notes dengan jumlah pokok sebanyak-banyaknya US$2 Miliar yang didaftarkan di Singapore Stock Exchange (SGX-XT).
Kemudian PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau MIND ID yang merupakan induk perusahaan pertambangan di Indonesia mencatatkan oversubscribed sebesar 6,4 kali atas obligasi yang ditawarkannya senilai US$2,5 miliar.
Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak mengatakan perseroan mendapatkan dana sebesar US$2,5 miliar atau Rp37,5 triliun atas aksi penerbitan obligasi. Kelebihan permintaan sebanyak 6,4 kali berarti jumlah permintaan yang masuk pada masa penawaran mencapai US$16 miliar.
“Hal ini membuktikan kalau investor masih percaya terhadap kemampuan kami dalam mengelola portofolio pembiayaan dan menjaga likuiditas,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/4/2020).
Kata Pengamat Mengenai Global Bond RI
Head of Research & Market Information Department Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie mengatakan emisi obligasi global RI naik karena didorong penerbitan oleh pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN). Menurutnya, pemerintah masih memungkinkan untuk melakukan emisi obligasi global lagi untuk memenuhi target pandemic bond.
“Kenapa global bond, menurut saya karena basis investornya lebih besar dibandingkan di pasar domestik. Apalagi di tengah kondisi sekarang, investor domestik tidak mau ambil risiko tinggi,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (14/5/2020).
Untuk korporasi, Roby menilai emisi obligasi global hanya dilakukan untuk perseroan dengan fundamental baik serta memiliki dukungan dari induk usaha besar atau negara. Pasalnya, terdapat risiko selisih kurs bagi emiten.
“Sejauh ini toh lebih ke BUMN besar yang menerbitkan global bond, dan itu mayoritas porsinya untuk refinancing atau bayar utang jatuh tempo utang dalam valuta asing saja,” tuturnya.
Dia menambahkan kupon obligasi global memang lebih rendah dibandingkan dengan obligasi domestik. Namun, emiten harus membayar dalam dolar AS sehingga pembayaran lebih besar ketika nilai tukar rupiah melemah.
Sementara Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana menilai penerbitan obligasi global ditempuh untuk memenuhi kebutuhan arus kas terhadap valuta asing. Hal itu menurutnya berlaku baik pemerintah maupun BUMN.
“Jika tanpa mempertimbangkan risiko kurs, sebenarnya kupon global bond pun lebih kompetitif ditambah juga dengan tenor yang relatif lebih panjang jika dibandingkan dengan obligasi domestik,” jelasnya.
Fikri memprediksi masih banyak emisi obligasi global asal Indonesia yang akan meluncur ke pasar. Namun, permintaan akan lebih dipengaruhi kondisi global dan risiko persepsi investasi terhadap Indonesia.
“Disamping beberapa risiko fundamental domestik khususnya risiko kurs yang akan mempengaruhi,” imbuhnya.
Moody’s: Ekonomi Terguncang, Perusahaan di Asia Mampu Lunasi Utang
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investors Service memperkirakan perusahaan ternama di Asia di luar Jepang sebagian besar mampu memenuhi kewajiban obligasi jatuh tempo senilai US$569 miliar hingga 2021.
Perusahaan tersebut dianggap mampu melunasi utang kendati perekonomian sedang lesu akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Sean Hwang, Moody’s Assistant Vice President mengatakan perusahaan berstatus investment grade atau layak investasi mencapai 70 persen atau US$400 miliar dari obligasi jatuh tempo pada 2021.
“Hal itu menunjukkan risiko refinancing yang lebih rendah karena kualitas kredit perusahaan yang baik,” ujarnya melalui siaran pers seperti dikutip bisnis.com pada hari Rabu (13/5/2020).
Sebagian besar obligasi yang akan jatuh tempo tersebut mayoritas berdenominasi mata uang lokal sehingga kecil kemungkinan terkena risiko kurs.
Di sisi lain, Moody’s mencatat 30 persen atau sekitar US$169 miliar dari obligasi jatuh tempo pada 2021 tersebut, merupakan perusahaan dengan tingkat imbal hasil atau yield tinggi. Mereka menghadapi kondisi refinancing yang kurang baik khususnya di pasar luar negeri offshore.
Lembaga pemeringkat internasional itu menuliskan mayoritas obligasi dengan yield tinggi yang akan jatuh tempo pada 2021 memiliki peringkat B1 atau di atasnya. Perusahaan-perusahaan itu sebagian besar harus mempertahankan akses ke pasar modal atau mempertahankan likuiditas untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.
“Perusahaan [dengan tingkat imbal hasil tinggi] berperingkat B2, atau di bawahnya memiliki tingkat risiko yang relatif lebih tinggi,” tulis Moody’s.