Ekonomi

Mengenal Aturan Hukum Perjanjian Kredit di Indonesia?

Hukum perjanjian kredit
Hukum perjanjian kredit

Ajaib.co.id – Dalam kegiatan berbisnis, pinjam meminjam uang merupakan hal yang wajar. Untuk terus bisa mengembangkan usahanya, pelaku bisnis membutuhkan modal dan salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan mengajukan kredit ke bank. Dalam hal ini pemberian pinjaman tersebut tidak serta merta begitu saja diberikan namun harus ada dasar hukum yang mengikat atau disebut juga sebagai perjanjian kredit.

Para pelaku bisnis yang secara khusus memberikan layanan kredit harus paham mengenai peraturan perundangan-undangan. Prinsip kehati-hatian jelas harus diterapkan dalam menyalurkan pinjaman kepada calon debitur.

Di sisi lain, pelaku bisnis juga perlu melihat dengan jeli aset-aset atau harta sebagai bentuk jaminan dari calon debitur. Kredit bermasalah seringkali jadi polemik tersendiri bagi pihak pemberi pinjaman, baik itu bank maupun badan usaha keuangan lainnya. Disinilah pelaku usaha harus tahu bagaimana melakukan penyelesaian sengketa tersebut.

Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit (credit/loan agreement) adalah salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh bank dengan pihak ketiga, yakni nasabah. Loan agreement ini bisa dikatakan sama dengan perjanjian utang-piutang. Hanya yang membedakan adalah pemakaian istilahnya saja, dimana perjanjian kredit lebih umum digunakan bank sebagai kreditur. Sedangkan perjanjian utang-piutang biasanya dipakai oleh masyarakat dan pihak lain yang tidak berhubungan dengan bank.

Mengacu pada Undang-Undang Perbankan Pasal 1 Nomor 11, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu disertai pemberian bunga.

Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan tidak disebutkan atau mengenal istilah “’perjanjian kredit”. Akan tetapi istilah tersebut muncul dalam surat Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970 yang pada saat itu ditujukan kepada Bank Devisa. Isi dari surat itu menyebutkan bahwa pemberian kredit diinstruksikan harus dibuat melalui surat perjanjian kredit.

Selain itu, istilah loan agreement juga muncul dalam pedoman kebijaksanaan Bidang Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10) yang ditujukan kepada masyarakat dan bank. Dalam pedoman ini juga mengharuskan setiap bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit terkait pemberian pinjaman.

UU Perbankan sendiri memberikan aturan-aturan pokok kepada bank yang menyalurkan kredit. Aturan pokok ini bagian dari pedoman perkreditan yang wajib diterapkan setiap bank dalam memberikan kredit kepada nasabahnya, diantaranya adalah:

  • Pemberian kredit dalam bentuk perjanjian secara tertulis.
  • Bank harus punya keyakinan atas kesanggupan nasabah atau debitur dalam menjalankan kredit berdasarkan penilaian yang seksama terhadap kemampuan, watak, modal, jaminan dan prospek usahanya.
  • Bank berkewajiban menyusun dan menerapkan prosedur terkait penyaluran kredit.
  • Bank wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada nasabah mengenai syarat dan prosedur pengajuan kredit.
  • Bank dilarang memberi kredit dengan persyaratan yang tidak konsisten kepada debitur atau pihak terafiliasi lainnya.
  • Menyelesaikan sengketa.

Macam-Macam Kredit

Kredit umumnya digolongkan menjadi beberapa kategori yang dapat dilihat berdasarkan tujuannya, yaitu:

1.  Kredit Konsumtif

Kredit ini diberikan untuk tujuan mendapatkan atau membeli barang-barang kebutuhan yang sifatnya konsumtif.

2. Kredit Produktif

Kredit yang diberikan kepada nasabah untuk mendukung kelancaran proses produksi usahanya.

3.  Kredit Perdagangan

Kredit perdagangan maksudnya adalah pemberian kredit dengan tujuan membeli barang-barang untuk kemudian dijual kembali. Kredit ini ada dua macam, yaitu kredit perdagangan dalam dan luar negeri.

Perjanjian Kredit Dalam Hukum Perjanjian

Berkait perjanjian kredit, ada beberapa kalangan hukum yang berpendapat bahwa loan agreement harus tunduk pada peraturan hukum perjanjian sesuai Bab XIII Buku III KUHPerdata. Dalam bab tersebut diatur mengenai pinjaman uang atau pemberian kredit seperti yang diutarakan buku karya dari Marhainis Abdul Hay.

Lalu menurut pandangan R. Subekti, pemberian kredit itu pada hakekatnya adalah perjanjian meminjam sebagaimana yang diatur dalam pasal 1754 sampai 1769 KUHPerdata. Beliau menilai kredit sebagai suatu hal yang umum, sedangkan perjanjian kredit diberikan oleh pihak bank yang memiliki kriteria khusus, terutama yang berhubungan dengan utang.

Di sisi lain, ahli hukum bernama Mariam Daruz Abdulzaman memberi anggapan berbeda yang mengatakan perjanjian kredit bank merupakan perjanjian tersendiri yang digolongkan sebagai perjanjian bernama. Dengan kata lain, perjanjian loan agreement ini berakar pada Undang-Undang Perbankan karena berlainan dengan perjanjian pinjam meminjam seperti yang di atur dalam Buku III KUHPPerdata.

Penilaian Mariam Daruz Abdulzaman juga didukung oleh Sutan Remi Sjahdeini. Menurut Sutan, ada 3 hal kenapa perjanjian kredit bukan perjanjian pinjam uang seperti yang tercantum dalam KUH Perdata, yaitu:

  • Perjanjian pinjaman uang atau pinjam meminjam seperti yang ada pada Pasal 1754 KUH Perdata termasuk perjanjian riil karena sudah terjadi penyerahan uang secara langsung.
  • Perjanjian kredit membuat debitur tidak memiliki keleluasaan dalam menggunakan dana yang diberikan pihak bank. Hal itu dikarenakan kredit yang disalurkan harus sesuai dengan tujuan awal dalam perjanjian. Akan tetapi pada perjanjian pinjam meminjam, debitur punya kuasa penuh atas uang yang dipinjamkan karena dianggap sudah menjadi pemilik uang tersebut.
  • Dalam perjanjian kredit ada persyaratan dalam penggunaannya, seperti melalui cek atau pemindahbukuan.

Pada perjanjian kredit, kreditur tidak diperbolehkan meminta Kembali uang yang dipinjamkan ke nasabah sebelum batas waktu yang ditentukan (Pasal 1759 KUHPerdata). Begitu pula sebaliknya, debitur wajib untuk mengembalikan uang kepada bank dalam jumlah dan keadaan sama sebelum batas waktu yang ditetapkan.

Namun secara fungsinya, perjanjian kredit merupakan perjanjian yang menentukan alat bukti tentang Batasan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, melalui perjanjian ini juga berfungsi sebagai alat monitoring kredit.

Artikel Terkait