Investasi Syariah

Mudharabah Adalah Kerja Sama Berorientasi Profit Sharing

mudharabah-adalah

Ajaib.co.id – Mudharabah bukan istilah asing lagi, terutama yang kerap bersinggungan dengan lembaga keuangan berbasis syariah. Sebenarnya, apa itu mudharabah? Intinya, mudharabah adalah kerja sama yang berorientasi prinsip profit sharing.

Secara etimologi, mudharabah berasal dari bahasa Arab, yakni ‘darb’. ‘Darb’ mengandung arti ‘memukul’, ‘berenang’, ‘mengalir’, ‘berdetak’, ‘bergabung’, ‘menghindar’, ‘berubah’, ‘mencampur’, ‘berjalan’ dan sebagainya.

Pengertiannya dalam aspek keuangan bisa merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 115 Tahun 2017 tentang Pembiayaan Mudharabah. Berdasarkan fatwa tersebut, mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha yang melibatkan pemilik modal atau investor (shahib al-mal) dan pengelola (‘amil/mudharib). Keuntungan dari investasi atau bisnis dibagi di antara mereka sesuai nisbah (porsi/bagian) yang disepakati dalam akad. Sementara itu, modal disebut rabbul maal.

Mudharabah sering diterapkan pada praktik keuangan yang melibatkan lembaga keuangan berbasis syariah. Dalam konteks lembaga keuangan syariah, mudharabah merupakan akad kerja sama antara bank selaku pemilik dana dan nasabah sebagai pengelola yang memiliki keahlian atau keterampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal.

Mudharabah terdiri dari berbagai jenis, yakni

1.  Mudharabah muwayyadah

Pada mudharabah muwayyadah, pemilik modal memiliki ‘power’ untuk menentukan usaha yang akan dikelola oleh mudharib. Pengelola hanya berhak menjalankan usaha.

2.  Mudharabah muthlaqah

Kebalikannya, pada mudharabah muthlaqah, mudharib dapat mengajukan ide investasi atau bisnis kepada pemilik modal. Bila pemilik modal menyetujuinya, bisnis tersebut baru bisa dijalankan dengan menentukan nisbah bagi hasil dari bisnis tersebut.

Jadi, perbedaan antara mudharabah muwayyadah dan muthlaqah terletak pada akad dan pelaku yang memulai kerja sama.

Pada lingkup syariah, mudharabah harus memenuhi rukun dan syarat. Rukunnya sebagai berikut:

·    Pihak yang berakad, yakni pemilik modal dan pelaksana atau pengelola

·    Modal

·    Ijab qobul antara pemilik modal dan pengelola

·    Bagi hasil atau keuntungan yang dapat disepakati

·    Usaha atau proyek yang dijalankan

Sementara itu, syarat umumnya sebagai berikut:

·    Modal berbentuk uang (bukan barang)

·    Modal juga bukan berarti utang

·    Modal tersebut memiliki jumlah (nominal) yang jelas

·    Modal harus langsung diserahkan kepada pengelola

·    Kesepakatan mengenai bagi hasil harus jelas dan sesuai nisbah

Selain syarat umum, mudharabah juga mengandung syarat khusus, yakni:

·    Menyertakan data identitas diri atau milik pribadi

·    Menyertakan data identitas perusahaan yang akan menjalankan usaha

·    Adanya permohonan pembiayaan

·    Menyertakan proposal proyek yang dilaksanakan harus diikutsertakan

·    Menyertakan garansi atau jaminan dalam menjalankan usaha

Terkait modal, ketentuannya sebagai berikut:

·    Modal hanya dimanfaatkan untuk tujuan usaha yang sudah jelas dan sesuai kesepakatan

·    Modal harus berupa unag yang jelas jenis mata uang dan jumlahnya

·    Modal diserahkan kepada pengelola seluruhnya (100%) lumpsum

·    Bila diserahkan secara bertahap, tahapan dan besarannya harus jelas sesuai kesepakatan

·    Biaya-biaya untuk studi kelayakan (feasibility study) atau semacamnya tidak termasuk dalam bagian modal

·    Biaya-biaya tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan lain di luar modal

Sementara itu, prinsip bagi hasil mudharabah secara sederhana dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

1.  Bagi hasil diperoleh dari pengelolaaan modal yang diberikan.

2.  Besaran bagi hasil dibagikan sesuai kesepakatan.

3.  Pengelola harus membayar bagian bagi hasil yang menjadi hak pemilik modal secara berkala sesuai dengan periode yang disepakati.

4.  Pemilik modal tidak berhak menerima bagi hasil jika terjadi kegagalan atau wanprestasi bukan karena kelalaian pengelola.

5.  Pengelola harus menanggung kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kegagalan usaha akibat kelalaian pengelola (menjadi piutang pemilik modal).

Pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat dalam akad mudharabah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI antara lain menegaskan LKS sebagai penyedia dana wajib ikut menanggung semua kerugian, kecuali jika (nasabah) melakukan kesalahan secara sengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

Dengan menerapkan akad mudharabah, pemilik modal berpotensi memeroleh bagi hasil secara berkesinambungan selama usaha masih berjalan. Pembagian besaran bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan di awal.

Pada dasarnya, akad mudharabah tidak mengenal namanya jaminan. Namun, agar pengelola tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan dari pengelola atau pihak ketiga.

Jaminan tersebut baru dapat ‘cair’ jika pengelola terbukti melanggar perjanjian kesepakatan. Biaya operasional yang timbul selama pengelolaan dana ini menjadi beban pengelola. Jika pemilik modal tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran, pengelola berhak menerima ganti rugi atau pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya.

Selain pada praktik bisnis atau terkait pembiayaan, mudharabah juga bisa diterapkan dalam skema tabungan di bank syariah. Pada skema tabungan berbasis syariah dengan akad mudharabah, pemilik modalnya adalah nasabah. Nasabah mempercayakan dana miliknya kepada bank yang berperan sebagai pengelola dana.

Sebagai pengelola dana, bank syariah bisa dan berwenang melakukan berbagai macam usaha atau investasi selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dana yang terkumpul dari nasabah ini disalurkan untuk kegiatan usaha produktif.

Seperti bentuk usaha lain, nasabah bisa mendapatkan porsi keuntungan dari pengelolaan dana yang dilakukan oleh bank syariah. Jumlah persentase bagi hasilnya sudah disepakati saat pembukaan rekening.

Dari berbagai penjalasan di atas, jelas terlihat bahwa kerja sama yang menggunakan akad mudharabah berorientasi pada profit sharing. Dengan kata lain, akad mudharabah menghindari praktik yang tidak adil sehingga bisa merugikan salah satu pihak yang terlibat secara tidak ‘fair’. Meski begitu, penerapannya terikat dengan rukun, syarat, dan berbagai ketentuan lainnya.

Artikel Terkait