Ajaib.co.id – Satu generasi diiringi dengan ciri khas atau karakteristik tertentu, seperti tren, gaya hidup, pola konsumsi dan sebagainya. Tak ketinggalan, bahasa yang populer pada suatu generasi berbeda dengan generasi lainnya. Bahasa populer dalam konteks ini adalah bahasa gaul yang sering dipakai dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa gaul sering dipakai karena dinilai lebih ‘nyaman’ oleh penggunanya, terutama anak muda. Bahasa gaul atau sering disebut bahasa ‘kekinian’ merupakan ragam bahasa Indonesia nonstandar atau tidak formal.
Bahasa gaul bisa sering digunakan dalam periode waktu tertentu seiring perkembangan zaman. Namun, ada juga bahasa gaul yang masih dipakai sejak lama. Nah, seperti apa pemakaian bahasa gaul yang tren digunakan pada periode waktu tertentu?
Tahun 1970-an
Pada era tersebut, bahasa gaul lebih dikenal dengan sebutan bahasa prokem atau slang. Awalnya, bahasa prokem digunakan oleh para preman untuk berkomunikasi di antara mereka secara rahasia, contohnya ‘bokis’ (bohong), ‘bokap’ (bapak), ‘nyokap’ (ibu), ‘bokin’ (pacar), dan ‘plokis’ (polisi).
Tahun 1980-an
Di era ini banyak dipengaruhi dari sejumlah film yang beredar di pasaran, misalnya film-film Warkop DKI dan Catatan Si Boy. Sejumlah bahasa gaul yang tren kala itu antara lain ‘doski’ (dia), ‘gokil’ (gila), ‘doku’ (duit), ‘bokek’ (tidak punya duit), ‘pembokat’ (pembantu), ‘nyimeng’ (mengganja), dan ‘ajojing’ (dansa).
Tahun 1990-an
Generasi muda di periode waktu ini lebih sering menambah sepotong kata di belakang kalimat, seperti ‘dong’, ‘yaw’, ‘deh’, ‘nih’, ‘ye’, ‘lah’ dan sebagainya. Jadi, kalau dirangkai dalam sebuah kalimat bisa menjadi seperti, “Boleh deh besok kita pergi ke mal”, “Besok sekalian nonton di bioskop lah” dan sebagainya.
Tahun 2000-an
Waria cukup berpengaruh dalam membuat tren di era ini. Maksudnya, kata-kata yang sering dipakai di kalangan waria cukup banyak diadopsi oleh generasi muda umum lainnya. Sejumlah kata yang mulai populer di era itu adalah ‘cus’ (ayo), ‘rempong’ (repot), ‘akika’ (aku), ‘lekong’ (laki), ‘segambreng’ (banyak), ‘lebay’ (berlebihan), ‘jomblo’ (tak punya pasangan), ‘sutralah’ (sudahlah) dan masih banyak lagi.
Tahun 2010-an
Bahasa gaul yang populer di era ini dikenal sebagai bahasa ‘alay’. Istilah ‘alay’ biasa digunakan untuk menggambarkan anak baru gede (ABG) yang terlalu berlebihan atau norak dalam menyikapi sesuatu.
Perkembangan teknologi digital turut mempengaruhi penyebarluasan tren gaya bahasa di tahun 2010-an, misalnya melalui short message service (SMS). Pesan teks melalui SMS sering disingkat oleh sebagian ABG, misalnya ‘aku’ jadi ‘q’, ‘setuju’ jadi ‘se7’, ‘tempat’ jadi ‘t4’, ‘boleh’ jadi ‘leh’ dan lain-lain.
Kemudian, istilah ‘alay’ tersebut juga terkadang disampaikan secara lisan mirip orang cadel atau mengganti huruf tertentu dengan huruf lainnya, misalnya ‘sayang’ jadi ‘cayank’, ‘selalu’ jadi ‘celalu’, ‘forever’ jadi ‘polepel’, ‘serius’ jadi ‘ciyus’ dan sebagainya.
Selanjutnya, terpaan media sosial makin meluas. Banyak anak muda–dan juga orang dewasa–mulai menggandrunginya. Dari sinilah, kosakata baru yang bermunculan, contohnya ‘baper’ (bawa perasaan), ‘mager’ (males gerak), ‘gabut’ (gaji buta/bosan), ‘bucin’ (budak cinta), ‘pansos’ (panjat sosial) dan banyak lagi.
Belum berhenti di situ, tak sedikit ABG ‘zaman now’ mencampur atau memadukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam satu kalimat, misalnya “Hubungan kamu dengan dia itu toxic (racun) relationship, understand?”
Percakapan menggunakan bahasa gaul memang membuat nyaman dan lebih akrab. Namun, penggunaan kata yang sedang tren ini dikhawatirkan bisa menjadi kebiasaan. Bukan tak mungkin kata tersebut terbawa ke situasi yang seharusnya lebih tepat menggunakan bahasa formal atau baku. Orang yang kerap memakai bahasa gaul menganggap bahasa-bahasa baru tidak baku tersebut unik. Sebagian orang juga menganggap menggunakan bahasa baku dalam sehari-hari adalah kuno.
Nyaris tanpa disadari, penggunaan bahasa dapat mempengaruhi eksistensi bahasa Indonesia. Ketika seseorang tidak menemukan kosakata bahasa Indonesia yang tepat, ia berpotensi menggunakan bahasa gaul untuk mengungkapkan ide atau gagasannya. Alhasil, bahasa gaul tersebut akan makin tersebar luas.
Lebih parahnya, penggunaan bahasa gaul yang masif tidak hanya dilakukan oleh remaja atau orang dewasa, melainkan juga oleh anak-anak. Anak-anak adalah pembelajar terbaik. Mereka akan lebih mudah meniru apa yang dilihat, didengar, atau dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Anak-anak–dan juga remaja–merupakan agen perubahan bangsa (agent of change). Sebagai agen perubahan, anak-anak dan remaja menjadi sosok sentral pelaku perubahan di lingkungannya. Sangat disayangkan bila perubahan tersebut justru mengikis bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Oleh sebab itu, alangkah baiknya menggunakan bahasa gaul sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kamu harus bisa menempatkan diri di mana dan kapan menggunakan bahasa gaul ya.
Bahasa Indonesia masih dan harus menjadi bahasa utama. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia adalah bahasa yang menyatukan kita semua. Tak kalah penting, bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa Indonesia.
Sejatinya, bahasa Indonesia pun terus berkembang. Seiring waktu, makin banyak kosakata baru dalam lingkup bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri merupakan wujud penyesuaian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai bahasa yang berkembang, bahasa Indonesia tentu mendapat pengaruh dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Tapi, bahasa asing dan daerah jelas berbeda dengan bahasa gaul, bukan? Terpaan media komunikasi, seperti media massa, media sosial hingga wadah obrolan, turut memperluas penggunaan bahasa gaul di masyarakat. Sekali lagi, kita diharuskan bijak dalam mengonsumsi isi media komunikasi. Hal ini tak terlepas dari salah satu peran media komunikasi, yakni mendukung perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia.