Dunia Kerja

Urgensi Literasi Digital untuk Tenaga Kerja Muda

Ajaib.co.id – Literasi digital, sering disebut tapi tak sedikit yang  salah kaprah. Beda dengan keterampilan digital, Brookfield Institute Canada sepakat bahwa definisi literasi digital sebagai kemampuan seseorang untuk memahami bagaimana teknologi bekerja dan beradaptasi dengannya. 

Secara umum literasi digital memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada sekadar kemampuan mengoperasikan produk digital. Lebih spesifik American Library Association memasukan dua kompetensi penting di dalamnya, yaitu: 

  1. Kemampuan kognitif yang terdiri dari menganalisis, mengevaluasi, dan memberikan informasi tentang produk digital.
  2. Kemampuan teknis, yaitu menemukan, mengoperasikan, hingga menciptakan sebuah produk digital 

Dari pengertian tersebut bisa dirangkum bahwa keterampilan digital adalah bagian dari literasi digital bukan sebaliknya atau tidak bisa pula disamaratakan. 

Kecenderungan menyamakan tersebut akhirnya membuat definisi literasi digital seringkali bias pada kemampuan komputasi belaka. 

Coding misalnya jadi salah satu keahlian yang dipercaya wajib dimiliki seseorang untuk dapat gelar melek digital. Padahal itu bukan satu-satunya keahlian yang harus dimiliki tenaga kerja muda saat ini.

Ada tiga tingkatan keahlian atau keterampilan digital yang dikenal, yaitu. 

1. Keahlian digital dasar 

Keahlian ini mencakup kemampuan seseorang mengerjakan tugas-tugas dengan software yang sudah ada, serta melakukan komunikasi dan transfer pengetahuan melalui produk teknologi digital.

Seseorang yang sudah bisa melakukan pencarian dengan mesin pencarian atau menggunakan media digital seperti media sosial, sudah bisa digolongkan sebagai orang dengan keahlian digital dasar. 

Pada dasarnya keahlian ini bisa dilihat dari bagaimana seseorang berinteraksi dengan teknologi serta memahami keterbatasan serta kelebihan suatu produk digital.

2. Keahlian digital untuk tenaga kerja 

Di level berikutnya, ada pula yang disebut sebagai keahlian digital untuk tenaga kerja. Ini adalah keahlian yang memiliki tingkat permintaan cukup tinggi beberapa tahun belakangan. 

Keahlian ini berkaitan erat dengan penggunaan perangkat lunak berkapasitas lebih besar dan rumit. Biasanya digunakan untuk tujuan mengolah data, desain, dan manajemen. 

Setidaknya untuk masuk ke sebuah perusahaan baik startup atau korporat, seorang tenaga kerja harus sudah menguasai beberapa perangkat lunak yang sesuai dengan bidang mereka. 

3. Keahlian digital profesional 

Untuk level profesional, seseorang harus sudah mampu mengembangkan teknologi yang sudah ada. Alih-alih hanya menguasai software yang sudah ada, mereka dituntut untuk mengembangkan perangkat baru lainnya. 

Dari ketiga keahlian di atas, literasi digital lebih dekat pada keahlian level profesional. Agar dapat menemukan perangkat baru, mereka dituntut untuk memiliki pemikiran kritis dan metode pemecahan masalah yang komputasional.

Artinya mereka adalah orang-orang yang cenderung menyelesaikan masalah dengan mempertimbangkan korelasi antara kemampuan manusia dan teknologi. 

Literasi digital dan kebutuhan akan tenaga kerja 

Apa yang bisa digapai dengan literasi digital? Jawabannya sebenarnya sudah kamu temukan di sekitarmu. 

Terbukanya lapangan pekerjaan dalam skala besar di sektor-sektor yang sebelumnya tidak ada adalah bukti bahwa literasi digital punya peran penting dalam meningkatkan daya saing generasi muda. 

Ada beberapa alternatif pekerjaan yang bisa dipilih generasi melek digital ini.  

Perusahaan startup 

Logika yang dipakai adalah semakin banyak orang yang sudah mampu berpikir dengan mindset komputasional, semakin banyak pula perangkat yang tercipta. 

Perusahaan-perusahaan yang hidup dan bisa melakukan kegiatan ekonomi di sektor ini jadi idaman anak-anak muda. 

Alasannya masuk akal. Absennya birokrasi yang berbelit, tempat dan waktu kerja yang lebih fleksibel dan nyaman, hingga iming-iming gaji yang bisa melonjak tinggi menyaingi pekerjaan konvensional di korporat biasa bisa jadi motivasi anak muda untuk berbondong-bondong mendaftar menjadi bagian dari ratusan perusahaan startup rintisan. 

Namun, apakah startup satu-satunya tempat untuk anak muda yang melek digital untuk berlabuh? Kenyataannya tidak semanis itu. 

Startup memiliki banyak kelemahan yang seringkali tak terdeteksi. Kebanyakan anak muda melihat startup dari fasilitas-fasilitas nyaman yang mereka tawarkan serta penampilan santai para pegawainya. 

Padahal ada banyak hal yang harus kamu tahu dan perhatikan sebelum memutuskan akan meniti karier di sebuah startup.

Tidak ada birokrasi yang jelas 

Beda dengan perusahaan konvensional, kamu akan dengan mudah bertemu dan berinteraksi dengan para founder pertama startup.

Mereka cenderung berbaur dengan karyawan biasa, walaupun tak sedikit pula yang mengeksklusifkan diri. Itu semua tergantung pada kepribadian dan budaya masing-masing pegiat startup. 

Namun, ada satu hal yang kurang lebih sama. Terkadang kamu sendiri bingung jalur mana yang harus kamu tempuh untuk sekadar menyuarakan pendapat, alih-alih tahu jenjang karier. 

Bekerja ekstra keras 

Di beberapa kesempatan, ekspektasi bahwa bekerja di startup jauh lebih santai daripada pekerjaan konvensional adalah sesuatu yang delusional. 

Startup dengan usia yang cukup muda biasanya berusaha untuk menghemat pengeluaran dengan tidak merekrut karyawan terlalu banyak, alhasil ketika pergerakan ekonomi sedang pesat alias kebanjiran proyek, karyawan yang ada akan bekerja semaksimal mungkin. 

Perubahan yang bisa terjadi kapan saja 

Sama seperti bisnis pada umumnya, berbagai hal bisa terjadi di tengah jalan dan mengubah segalanya. Bagi yang sudah berpengalaman bekerja di startup pasti sudah familier dengan perubahan-perubahan mendadak yang bisa terjadi kapan saja. 

Satu proyek yang sedang digarap bisa saja keesokan harinya dihentikan atau diubah bentuknya dan lain sebagainya. Ketidakstabilan ini umumnya disebabkan oleh kecenderungan startup untuk mencoba formula-formula baru yang tentu dilakukan tanpa ada jaminan berhasil. 

Startup bisa gagal dan bangkrut 

Banyak yang mengira startup adalah tempat paling nyaman untuk mengembangkan diri sembari mendapatkan penghasilan. Nyatanya, startup bisa gagal dan bangkrut begitu saja, sama dengan bisnis atau usaha kecil yang kamu jalankan.

Sudah ada beberapa startup yang gulung tikar, tak terkecuali startup besar yang terpaksa mengurangi jumlah karyawannya karena kemelut ekonomi yang menjerat mereka. 

Mitos bahwa startup dapat menjamin masa depan anak muda melek digital sudah semestinya dihapus sekarang juga. 

Startup adalah tempat untuk belajar, bukan menggantungkan hidup 

Lekatnya startup dengan ketidakstabilan bisa jadi hal yang dihindari sejumlah kalangan. Terutama orang-orang yang mencari kestabilan dalam hidupnya, startup bukanlah tempat yang tepat. 

Bahkan beberapa percaya bahwa bekerja di startup lebih cocok disebut gaya hidup. Anak-anak muda yang memilih bekerja di startup harus siap dengan segala ketidakpastian termasuk paling parah pemutusan hubungan kerja. 

Bukan berarti ini akhir dari segalanya. Sebagian besar dari mereka yang menjadi korban PHK startup gagal pada akhirnya bisa menemukan pekerjaan baru di startup lain.

Manusia selalu punya cara untuk bertahan hidup dan itu buktinya. Startup lebih cocok disebut sebagai tempat untuk belajar, daripada sekadar menggantungkan hidup. 

Sebuah ungkapan yang tampaknya cukup ideal untuk milenial dan gen-Z, tetapi sangat dihindari generasi sebelum kita. 

Digital entrepreneurship

Jika bekerja di startup bukan pilihan yang memungkinkan untukmu, sebenarnya peluang lain masih terbuka lebar. Menjadi seorang pengusaha di bidang digital adalah salah satunya. 

Mulai menjadi seorang freelancer untuk proyek-proyek yang sedang dibutuhkan, membuka bisnis online sendiri mengandalkan kemampuan digital marketing hingga desain, sampai menjadi pengembang aplikasi adalah beberapa hal yang bisa dilakukan anak muda melek digital untuk bertahan hidup. 

Digital entrepreneurship sudah menghasilkan banyak anak muda berbakat. Para content creator hingga seniman lepas adalah contohnya. 

Literasi digital memungkinkan anak-anak muda untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri tanpa harus berafiliasi dengan perusahaan besar lainnya. 

Sebaliknya, perusahaan besar pun bisa menjalin kerjasama dengan mereka untuk meningkatkan traffic bisnis misalnya. 

Sama seperti startup, tetap ada konsekuensi saat kamu menekuni bidang ini. Bukan hanya masalah keahlian digital saja, aspek kesiapan mental harus diperhatikan. 

  • Kemauan untuk memulai, belajar, dan mengembangkan diri secara mandiri 
  • Siap pada ketidakstabilan dan mampu beradaptasi dengan perubahan 
  • Bersedia bekerja dari nol 
  • Sadar akan pentingnya personal branding 

Peluang meningkatkan literasi digital 

Meski disarankan untuk diajarkan sedini mungkin sejak di bangku sekolah, bagi milenial dan gen-Z yang sempat hidup di masa tanpa teknologi secanggih sekarang tidak ada kata terlambat untuk mengembangkan diri. 

Ada satu cara ideal meningkatkan literasi digital yang bisa dilakukan sekarang juga. 

Mengejar pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar lumrah kita temui saat ini. Namun, ia lebih cocok untuk generasi muda yang baru selesai menempuh pendidikan di sekolah dan hendak melanjutkan ke tingkat lanjut. Artinya anak-anak muda di usia 18-24 tahunan. 

Lalu, bagaimana dengan yang sudah terlanjur lulus atau telah mengambil pendidikan di bidang non-STEM (Science, Tecnology, Engineering, Mathematics)? Mengikuti kelas dan kursus online dianggap alternatif yang efektif. 

Sudah banyak lembaga formal dan informal yang membuka kelas digital literasi, mulai dari kemampuan teknikal hingga kognitif. Tarifnya bervariasi, gratis sampai berbayar. Banyak yang menganggapnya sebuah investasi pengetahuan.

Salah satu investasi yang dilirik orang karena dampaknya personal dan sifatnya jangka panjang. Peminatnya pun membludak sebab orang cenderung mencari keahlian bersertifikasi yang membuat resume mereka dilirik perekrut. 

Kampus masih diminati oleh kalangan lebih muda yang masih ingin mencari gelar, sementara kursus online ternyata menarik perhatian populasi masyarakat yang lebih tua untuk mempertahankan pekerjaan.

Perkembangan pasar yang berubah drastis ini memang dilihat lebih menguntungkan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah ketimbang anak muda usia 20an yang telah masuk dunia kerja. 

Namun, bukan berarti tanpa literasi digital, seseorang akan tertinggal jauh. Banyak yang mulai mempertanyakan pula dampak jangka panjang dari tren pekerjaan berbasis digital ini.

Tren ini seakan memberikan kesan bahwa hanya keahlian-keahlian teknikal tertentu yang dibutuhkan pasar. Sementara, keahlian lain tidak lagi dilirik. Ingat bahwa dunia sangat rentan akan perubahan.

Bukan tidak mungkin di masa depan terjadi kejenuhan. Banjir jumlah ahli di bidang teknologi ternyata menggali ceruk di bidang keahlian lain yang ternyata di masa depan sangat langka. 

Daripada fokus mengembangkan literasi digital semata, tenaga kerja muda masih disarankan untuk tidak melupakan minat dan bakat di bidang yang mereka sukai. 

Memahami diri sendiri bisa jadi langkah awal, sebab tak semua orang harus menjadi profesional di bidang teknologi.  Tak perlu memaksakan diri untuk mempelajari hal yang sebenarnya tidak begitu kamu minati hanya untuk mengikuti tren pasar. 

Mengikuti tren bukan tanda bahwa seseorang pandai membaca peluang. Ingat bahwa kemajuan ekonomi didorong pula oleh diversifikasi profesi, bukan sebaliknya. Layaknya literasi tradisional yang mencakup menulis, membaca, dan berpikir kritis, literasi digital sudah layaknya dikuasai semua orang sebagai kemampuan dasar bukan satu-satunya keahlian.

Artikel Terkait