Analisis Saham

Perlu Wait and See untuk Koleksi Saham MPPA, Ini Alasannya

Ajaib.co.id – PT Matahari Putra Prima Tbk perusahaan publik dengan kode saham MPPA ini mengoperasikan gerai toko yang menjual barang-barang sesuai kebutuhan sehari-hari.

PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1986. Pada tanggal 31 Desember 2014 dan 2013, perusahaan mengoperasikan toko Hypermart, Foodmart dan Boston Health & Beauty di 267 dan 222 lokasi di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

Induk MPPA adalah PT Multipolar Tbk, yang merupakan pemegang saham utama perusahaan. Induk utama perusahaan adalah Lanius Limited.

Saham MPPA mulai diperjual-belikan di bursa pada 21 Desember 1992, dengan harga penawaran Rp7.150 per lembar saham. Namun sayangnya harga saham MPPA kini anjlok jauh dari harga penawarannya.

Pada perdagangan Jumat, 19 Februari 2021 saham MPPA ditutup pada harga Rp119 per lembar saham. Sejak 2014 perusahaan mengalami penurunan laba bahkan rugi di tiga tahun terakhir.

Apakah saham ini masih layak dikoleksi? Bagaimana keadaan fundamental perusahaan saat ini dan apa rencana bisnis yang akan dilakukan? Mari kita bedah kinerja saham MPPA.

Pandemi Bikin Bisnis MPPA Rugi Hingga Tutup Beberapa Gerai Hypermart

Pandemi Covid-19 memang menekan kinerja beberapa perusahaan ritel akibat berkurangnya pengunjung dan pemberlakuan PSBB (PPKM) ketat. Bisnis MPPA menjadi salah satu yang terdampak.

Pada kuartal III-2020, MPPA mengalami peningkatan kerugian sebesar Rp332,34 miliar. Ini sedikit meningkat dari tahun sebelumnya. Penjualan MPPA menurun dari Rp6,64 triliun di kuartal III-2019 menjadi Rp5,11 triliun di 2020 pada periode yang sama.

Akibat penjualan yang menurun membuat rugi tahun berjalan membengkak, dari Rp265,78 miliar di kuartal III-2019 menjadi Rp332,39 miliar pada periode yang sama.

Perusahaan pemilik jaringan ritel Hypermart, Hyfresh dan Foodmart ini juga mengakui bahwa selama pandemi harus menutup beberapa gerai yang penjualannya mengalami kerugian. Setidaknya ada 8 gerai ditutup di sejumlah daerah seperti di Bali dan Jambi.

Bisnis MPPA Sudah Merugi Sejak 2017

Terlepas dari kondisi pandemi, emiten peritel PT Matahari Putra Prima Tbk memang sudah mencatatkan rugi sejak tahun buku 2017 hingga 2019. Sebelum mengalami kerugian tiga tahun berturut laba MPPA sempat menurun juga sejak 2016.

Berikut data ikhtisar keuangan yang diambil dari informasi finansial perseroan (dalam miliar rupiah).

Dari data tersebut, secara penjualan MPPA memang terus mengalami penurunan per tahunnya. Penurunan ini disebabkan banyak faktor.

Faktor perdana yang memengaruhi kegoyahan bisnis MPPA dan industri ritel diawali dengan kondisi inflasi pada tahun 2015. Saat itu inflasi mencapai 8% year-on-year menyebabkan daya beli konsumen menurun.

Lalu di 2015 juga terjadi transisi pemerintahan dari era Presiden SBY kepada Presiden Jokowi yang tentu membawa pengaruh pada kondisi bisnis ritel di Indonesia. Revisi APBN 2015 yang seharusnya terealisasi untuk pembangunan desa, daerah, kota, dan kabupaten harus direvisi dan baru keluar di pertengahan tahun 2015.

Ketika pembangunan terhambat, produktivitas masyarakat pun akan terkena dampak. Ujung-ujungnya berdampak juga ke pendapatan masyarakat.

Selain dua faktor tersebut, nilai hasil komoditas yang rendah juga membawa pengaruh besar bagi ritel di Indonesia. Terjadi komoditas ekspor yang berkurang dari pembeli di China, Eropa, dan Amerika yang menilai harga komoditas kita rendah, sehingga otomatis produktivitasnya juga rendah untuk memproduksi kelapa sawit dan batu bara.

Ketika produktivitas rendah maka otomatis berdampak kepada pendapatan yang rendah dari perusahaan dan juga karyawan. Alhasil, kemampuan untuk konsumsi pun menurun.

Penjualan MPPA menurun juga disebabkan karena perusahaan melakukan penghentian mayoritas bisnis B2B sejak 2018. MPPA juga sering melakukan renovasi gerai-gerainya.

Selama renovasi, gerai tidak beroperasi, bahkan termasuk gerai Hypermart yang sebenarnya menyumbang penjualan tinggi pada perusahaan.

Memang dua hal tersebut dilakukan perusahaan karena ingin fokus pada ritel, namun sepertinya kurang efektif untuk mencetak laba. Sebaliknya menderita rugi, karena melihat beban pokok penjualan dan beban administrasinya setiap tahun pun cukup besar.

Jika dilihat dari rasio keuangannya memang kondisi bisnis MPPA saat ini sedang tidak sehat. Berikut data yang diambil dari ikhtisar keuangan untuk tahun buku 2019 dari informasi finansial perseroan:

Bagaimana Prospek Bisnis MPPA ke depannya? Apakah Sahamnya Layak Dikoleksi?

Pada Januari lalu, entitas Temasek mengakuisisi 19% saham MPPA melalui Anderson Investments Pte. Ltd. Aksi korporasi ini membuat harga saham MPPA saat ini melonjak dari level Rp86 per lembar saham menjadi Rp110 per lembar saham.

Pada perdagangan Jumat, 19 Februari 2021 saham MPPA ditutup pada harga Rp119 per lembar saham. Meskipun mendapat sentimen positif, investor perlu memperhatikan juga apa tantangan binis MPPA di tengah pandemi dan digitalisasi serta apa strategi yang akan dilakukan.

Pemberlakuan PSBB telah mendorong MPPA untuk memperkuat bisnis penjualan online-nya. Pengembangan bisnis MPPA ke arah digital sebenarnya sudah sejak 2017 dengan melakukan kerja sama bersama mataharimall.com, meluncurkan aplikasi Hypermart online dan menjalin kerja sama dengan OVO serta Grab Delivery.

Saat pandemi COVID-19 mulai masuk ke Indonesia, MPPA mulai menjalin kerja sama dengan e-commerce terkemuka di Indonesia yaitu Shopee dan Tokopedia. Dengan kerja sama ini MPPA juga diuntungkan karena dua e-commerce tersebut sering menawarkan gratis ongkos kirim pembelian barang.

Meskipun MPPA sudah memanfaatkan sebaik mungkin peluang dan pengembangan bisnis melalui kanal digital, namun faktanya bisnis melalui kanal digital juga terbilang cukup berat. Tak jarang pelaku industri justru malah mengalami kerugian.

Berikut ini tantangan yang harus dihadapi MPPA:

●     Perusahaan harus merancang strategi baru, agar bisnis melalui kanal digital dapat menjangkau pelanggan baru yang lebih luas lagi

●     Membuat inovasi baru yang membuat perusahaan mempunyai daya saing dengan kompetitor sejenis yang lebih dulu menguasai pasar.

●     Menjaga loyalitas konsumen di tengah-tengah kompetitor.

●     Kompetisi harga yang ketat, karena tak jarang harga yang ditawarkan kompetitor.

Berkaitan dengan prospek bisnis MPPA, meskipun sudah merambah ke kanal digital, perusahaan harus mampu menjawab tantangan-tantangan di atas dan sejauh ini hasilnya belum terlihat dalam waktu dekat.

Artikel Terkait