Teknologi

Strategi Bertahan Snapchat di Tengah Sengitnya Persaingan

Ajaib.co.id – Snapchat dikenal sebagai pelopor teknologi yang menyajikan fitur berbagi foto dan video yang bisa terhapus otomatis dalam durasi waktu tertentu. Ia pula yang pertama kali memperkenalkan filter-filter unik untuk kamera ponsel. 

Awalnya dimanfaatkan untuk pesan pribadi antar satu pengguna dengan pengguna lainnya. Snapchat akhirnya menjelma jadi media sosial yang memberikan kesempatan bagi orang untuk mengekspresikan diri lewat fitur berbagi cerita atau yang kita kenal kini dengan istilah Stories. Stories memungkinkan orang datang ke Snapchat untuk menengok apa yang dilakukan public figures.  

Namun, tak berapa lama sinar Snapchat meredup. Para pesaingnya mulai bertebaran. Dimulai dengan Facebook yang membuat beberapa fitur serupa di Whatsapp dan Instagram. Disusul pula oleh Tiktok yang meniru konsep storytelling lewat video vertikal singkat.

Snapchat yang berada di bawah perusahaan Snap Inc. perlahan mulai ditinggalkan penggunanya yang lebih tertarik menghabiskan waktu di tempat lain.

Berdasarkan data yang mereka rilis pada kuartal kedua tahun 2020 ini, Snap Inc menunjukkan bahwa regional yang memberikan revenue terbesar pada mereka masih Amerika Utara dan Tengah. Persentasenya mencapai 56 persen. Eropa bahkan hanya berkontribusi pada 18 persen pemasukan mereka. Sisanya adalah negara-negara lain termasuk Asia dan Afrika. 

Hingga sepuluh tahun sejak didirikan, Snapchat masih konsisten mengalami kerugian. Bukan hal yang patut dikhawatirkan mengingat banyak startup yang harus jatuh bangun di usia muda mereka.

Sempat diragukan relevansinya karena mengalami penurunan jumlah pengguna dari tahun 2017 ke 2018,  Snapchat sempat dilirik investor dan masuk daftar saham paling menjanjikan pada awal 2020 lalu. Namun, hal itu secara otomatis terbantahkan dengan menurunnya harga sahamnya, berbanding terbalik dengan Facebook yang masih naik meski tak banyak. Penurunan nilai saham Snapchat tak lepas dari jumlah penggunanya yang terus berkurang. 

Pasarnya pun terpusat di satu regional dan demografi usia penggunanya sangat sempit. Berbeda dengan TikTok misalnya yang meski berasal dari Tiongkok, aplikasinya dinikmati berbagai orang di seluruh dunia dan beragam usia. 

Kejatuhan Snapchat sudah bisa diprediksi sejak tahun 2017. Ada beberapa alasan yang mendasari kegagalan Snapchat, antara lain. 

1. Kurang strategis dalam melirik pasar yang menjanjikan

Kecenderungan Snapchat untuk tidak mengembangkan aplikasinya dengan serius di Android dinilai sebagai kesalahan besar. Pasalnya untuk pasar di luar Amerika Utara, seperti Asia dan Eropa, Android masih memegang peranan penting. Sejak awal Snapchat lekat dengan pengguna iOS, sementara untuk versi Android aplikasi ini seringkali bermasalah. 

Tak heran kalau penggunanya pun berkutat di wilayah tertentu saja. Padahal pasar Asia sangat menjanjikan untuk diulik dan didekati mengingat populasinya besar dan frekuensi penggunaan media sosialnya tak kalah mengerikan.

Demografi pengguna mereka juga cukup sempit. Dominasinya adalah anak muda usia 20 tahun ke bawah. Remaja-remaja tidak memiliki akses finansial alias daya beli yang mumpuni, berbeda dengan usia pekerja muda misalnya yang punya akses lebih luas. Hal ini bisa berpengaruh pada ketertarikan pebisnis untuk beriklan di platform mereka.

2. Idenya ditiru Facebook yang sudah punya basis pengguna 

Sempat menolak tawaran Facebook untuk mengakuisisinya, Snapchat akhirnya harus bersaing dengan raksasa teknologi tersebut. Tak tanggung-tanggung, Facebook yang sudah membeli Instagram dan Whatsapp langsung meniru beberapa fitur unik Snapchat seperti Stories, Direct Message yang kini memungkinkan orang untuk berbagi foto yang bisa hilang setelah dua kali dilihat, serta fitur chat yang lebih cepat dan efisien lewat Whatsapp. 

Kedua platform yang berhasil diakuisisi Facebook bahkan sudah punya pengguna setia yang tak sedikit, tak sulit bagi mereka untuk mengembangkannya. Ditambah dana segar Facebook jelas lebih banyak dari Snapchat yang masih tergolong baru.

3. Ditinggalkan public figure yang sebelumnya lekat dengan Snapchat 

Setelah sempat dipromosikan secara tidak langsung oleh para public figure dan selebriti internasional, Snapchat harus rela kehilangan mereka. Bahkan beberapa telah menyatakan bahwa mereka tak lagi menggunakan Snapchat. Pengaruh public figure dan influencer jelas punya dampak yang besar. Tanpa keberadaan para orang terkenal itu, banyak orang tak lagi memiliki alasan untuk membuka atau membuat akun di aplikasi tersebut.

4. Kurang menarik untuk pengguna yang lebih tua 

Kekurangan lain dari Snapchat adalah user interface yang kurang efisien. Bahkan untuk pengguna baru dari kalangan muda saja, tampilannya dirasa cukup susah dimengerti.

Jangan tanya bagaimana sulitnya untuk pengguna dari kelompok usia yang lebih tua. Jelas mereka tidak akan terlalu tertarik. Kebanyakan pengguna Snapchat pun berada di bawah usia 34 tahun. Bukti kalau pangsa pasar mereka sudah sempit sejak awal. 

5. Pesaingnya cukup berat 

Sudah ditiru idenya oleh Facebook, Snapchat masih harus bersaing dengan lawan yang tak kalah perkasa. TikTok yang tergolong baru awalnya merupakan aplikasi video dan musik, tetapi kini makin ramai karena dijadikan ajang storytelling. Videonya pun vertikal, sebuah ide yang dipelopori Snapchat sejak kemunculan pertamanya. 

Masih ada Twitter yang meski tak melakukan banyak perubahan, hingga kini masih jadi tempat favorit untuk status yang bersifat verbal. Lain halnya dengan Twitter yang sudah spesifik dan belum menemukan pesaing yang sesuai, Snapchat sudah menghadapi gerusan raksasa macam Facebook yang secara teknis bisa dibilang berhasil mengadopsi idenya. 

Usaha Snapchat untuk bertahan

Snapchat tidak tinggal diam. Ada beberapa usaha yang mereka lakukan untuk menarik pengguna sekaligus mencari profit. 

1. Mengoptimalkan Snap Ads

Tentu Snapchat tak ingin kehilangan kesempatan menghasilkan profit. Lewat populasi penggunanya yang sudah berbagi data dan algoritma minat, mereka pun menawarkan jasa iklan untuk para pebisnis. Namun, tentu pebisnis akan melihat demografi pengguna media sosial. 

Sudah jelas bahwa Snapchat lebih banyak mewadahi orang-orang dari usia muda, mulai remaja hingga usia 20an. Tentu ini membuat Snapchat hanya menarik untuk pengiklan dari sektor-sektor tertentu saja. Sejauh ini Snap Ads masih jadi sumber penghasilan utama untuk Snapchat. 

2. Merilis kamera AI bernama Spectacles

Selain Snap Ads yang mereka dapatkan dengan melakukan profiling untuk pengiklan, Snap Inc memiliki sebuah kamera berbentuk kacamata hitam. Menjawab kebutuhan pasar untuk merekam video dan menjepret foto secepat dan seakurat mungkin, kacamata hitam ini pun diproduksi. 

Menyasar kalangan  pembuat film dan pekerja kreatif lainnya. Meski begitu, dengan harga yang lumayan mahal orang akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan untuk membelinya. 

3. Menarik pengguna lewat Snap Originals 

Selain kamera AI, Snapchat mencoba menarik jumlah pengguna lewat serial original mereka. Melihat pasar mereka yang didominasi remaja dan anak muda, mereka pun melihat peluang untuk memberikan tayangan hiburan ringan. Mulai dari drama, docuseries, reality show, hingga tayangan horor. Semua bisa diakses gratis lewat aplikasi mereka. 

Snapchat lewat Evan Spiegel mengklaim bahwa beberapa serial mereka cukup populer di kalangan pengguna dan sudah punya audiens setia. Walaupun secara realistis, serial-serial Snap masih jauh dari kata populer. Apalagi jika harus bersaing dengan Netflix, YouTube, dan berbagai layanan streaming lain yang bisa diakses di desktop. 

4. Rencana update di banyak sisi

Komplain pengguna akan desain user interface yang susah dipahami tampaknya sudah sampai ke telinga para petinggi Snapchat. Mereka pun berkomitmen untuk melakukan perbaikan di berbagai sektor untuk memberikan pengalaman yang lebih baik untuk penggunanya, termasuk menggaet pengguna baru. Namun, tentu tak cukup dengan desain tampilan yang berubah, perlu dilakukan inovasi fitur-fitur baru yang belum dimiliki platform lainnya untuk bertahan.

5. Komitmen untuk terus berinovasi 

Melihat sahamnya yang terus turun, Snapchat mengaku bahwa mereka memang dihadapkan pada pilihan sulit beberapa tahun ini. Komitmen untuk berinovasi masih mereka gaungkan. Mereka percaya bahwa mereka sudah pernah membuat sebuah inovasi yang mengubah cara orang berinteraksi di media sosial. 

Sesuatu yang baru dan mampu jadi cara bagi pebisnis untuk melihat peluang. Di tahun-tahun ini mereka ingin mencoba hal-hal baru serta menilik peluang mengakuisisi perusahaan teknologi yang punya visi dan misi mirip dengan Snapchat. 

Pelajaran berharga dari Twitter dan Uber 

Saham yang turun bukanlah akhir dari keberlangsungan Snapchat. Snapchat perlu menilik strategi Twitter yang bisa bertahan di tengah gerusan perusahaan teknologi lainnya. Twitter pernah jadi primadona di awal kemunculannya, kemudian ditinggalkan saat orang mengenal Instagram yang lebih eye-catching. Sama persis dengan apa yang terjadi pada Snapchat sekarang.

Namun, Twitter menemukan gongnya lagi di tahun politik. Banyak orang meluapkan pendapatnya di Twitter. Tanpa perlu mencari gambar yang tepat untuk menggambarkan perasaan, orang hanya perlu mengetikkan pikiran dan opini mereka. 

Di tahun-tahun itu pula, selain mendulang keuntungan dari iklan, Twitter menemukan satu slot profit berupa data licensing. Ia bisa memberikan akses pada data-data publik yang menarik banyak institusi dan entitas yang berkepentingan. 

Twitter yang menjadi wadah gerakan sosial politik secara daring sudah menemukan pasar yang tepat. Setidaknya hingga sekarang ia belum menemukan pesaing yang punya kekuatan besar untuk menggesernya. 

Jika Snapchat bisa membuat fitur baru dan berhasil membuka satu celah lagi untuk meraup untung, bukan tidak mungkin ia bisa selamat dari kebangkrutan di masa depan. Mempertahankan pengguna yang masih setia menggunakannya adalah hal yang krusial pula selain menambah kuantitas pengguna baru. 

Tak melulu soal bisnis, lingkungan kerja yang inklusif dan aman untuk siapa saja juga wajib dipertimbangkan mengingat sudah banyak perusahaan teknologi besar yang terjegal isu tersebut. 

Sebut saja Uber yang sudah babak belur karena penurunan sales, masih diperparah dengan lingkungan kerjanya yang tidak kondusif untuk para pekerja STEM perempuan. Atau yang terbaru Reformation yang dicekal karena dianggap rasis pada pekerjanya. 

Sayangnya ini tidak dijadikan pembelajaran oleh Snapchat yang belakangan dicekal banyak pihak karena dianggap tidak mendukung kebebasan berpendapat. Salah satu kebijakan paling krusial di Amerika Serikat yang sangat populer dan sudah diterima luas beserta konsekuensinya. Evan Spiegel beberapa waktu lalu merilis sebuah pernyataan yang kontroversial karena mengklaim tidak akan memberikan kesempatan untuk Trump berkampanye lewat platform-nya. Ia menganggap keputusan ini untuk melindungi pengguna lain dari ujaran kebencian dan ancaman yang seringkali dilontarkan tim Trump.

Namun, ada pula yang menganggap bahwa semua berhak berbicara termasuk Trump. Beberapa platform lain sebenarnya juga pernah melakukan hal yang sama ketika pengguna yang melontarkan sebuah cuitan yang sensitif. Namun, mereka tidak serta merta menutup akses pada pengguna tertentu untuk menggunakan platform mereka.  

Menurut prediksimu, sampai kapan Snapchat akan bertahan?

Artikel Terkait