Komoditas

Dilema Harga Minyak, Harga Naik Karena Produksi Dipangkas

kegunaan minyak bumi

Ajaib.co.id –  Harga minyak pada hari Senin (13/4) menguat tajam setelah produsen minyak dunia dan sekutunya (OPEC+) mencapai kata sepakat untuk memangkas produksinya.

Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) ketika itu naik 7,7 persen menjadi $ 24,52 per barel awal pekan ini. Sedangkan minyak mentah Brent, patokan internasional, naik 5,0 persen menjadi $ 33,08 per barel.

Produsen minyak dunia yang didominasi oleh Arab Saudi dan Rusia memutuskan untuk memangkas produksi minyak dunia sebanyak 9,7 juta barel per hari pada pertemuan virtual darurat yang dilaksanakan Minggu (12/4) kemarin seperti diberitakan CNNIndonesia.

Pasar minyak telah dalam gejolak selama berminggu-minggu akibat pembatasan perjalanan yang diberlakukan di seluruh dunia demi mempersempit penyebaran virus corona. Gejolak juga terjadi akibat perang harga yang dilakukan Arab Saudi dengan Rusia.

OPEC+ Pangkas Produksi Terbesar dalam Sejarah

Pemangkasan produksi oleh OPEC+ empat kali lebih dalam ketimbang rekor sebelumnya, 4,2 juta barel per hari pada 2008, hal ini menjadikan pemangkasan terbesar dalam sejarah dunia yang dilakukan para produsen minyak.

Kesepakatan tersebut sekaligus mengakhiri perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Selain itu, langkah tersebut dilakukan dalam rangka membatasi penurunan harga minyak yang nyaris mengarah ke level US$ 10 per barel atau terendah sejak krisis moneter 1998.

Awalnya, OPEC+ awalnya mengusulkan untuk memotong 10 juta barel per hari atau sekitar 10% dari pasokan secara global setelah berdiskusi selama dua pekan. Namun, Meksiko sempat menolak kesepakatan tersebut.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pun mulai menengahi diskusi tersebut. “Kesepakatan minyak besar dengan OPEC+ selesai,” kata Trump melalui akun Twitter resminya @realDonaldTrump, Senin (13/4) seperti dikutip katadata.

Trump juga mengucapkan selamat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Raja Salman dari Arab Saudi. “Saya baru saja berbicara dengan mereka dari Kantor Oval. Kesepakatan yang baik untuk semua!” kata dia.

Kini, pejabat OPEC menunggu pernyataan resmi dari anggota Kelompok 20 lainnya terkait besaran produksi minyak yang dipangkas. Arab Saudi akan memangkas produksi kurang dari 8,5 juta barel per hari atau level terendah sejak 2011. Sedangkan Meksiko yang sempat menolak kesepakatan, hanya akan memotong 100 ribu barel per hari.

“Saya sangat senang dengan kesepakatan itu,” kata Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman kepada Bloomberg News dalam wawancara beberapa menit setelah kesepakatan dilakukan, dikutip dari The Economic Times, Senin (13/4).

Pemangkasan produksi minyak akan berbeda besarannya dari waktu ke waktu. Setelah Juni, produksi OPEC hanya dipangkas 7,6 juta per hari sampai akhir tahun. Kemudian menjadi 5,6 juta sejak 2021 hingga April 2022.

“Kami ingin mendapatkan kembali stabilitas pasar minyak,” kata Pangeran Abdulaziz.

Head of commodities research at Citigroup Ed Morse mengatakan, kesepakatan seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. “Belum pernah terjadi sebelumnya dalam diskusi historis tentang pemotongan produksi, AS memainkan peran penting sebagai perantara antara Arab Saudi dan Rusia untuk kesepakatan OPEC+ yang baru,” kata dia.

Kendati begitu, analis masih mempertanyakan bisa tidaknya pemangkasan produksi minyak ini menekan penurunan harga. Apalagi jumlah kasus pasien terinfeksi Covid-19 terus meningkat di dunia.

Proyeksi Harga Minyak ke Depan

Organisasi negara pengekspor minyak ( OPEC) bersama negara mitra atau OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari mulai Mei hingga Juni 2020.

Dalam jangka panjang, keputusan pemangkasan produksi minyak hingga 9,7 juta barel per hari mulai Mei hingga Juni 2020 diproyeksi mampu meningkatkan harga minyak dunia setelah sempat terkoreksi hingga 40 persen sepanjang Maret 2020.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memproyeksikan, harga minyak dunia akan berada di kisaran 40 – 45 dollar AS per barel pada akhir tahun ini. Namun, hal tersebut baru akan dapat terealisasi apabila kesepakatan pemangkasan produksi minyak pada Juli hingga Desember 2020 tetap dilaksanakan.

Namun, hal tersebut baru akan dapat terealisasi apabila kesepakatan pemangkasan produksi minyak pada Juli hingga Desember 2020 tetap dilaksanakan.

“Harga minyak dapat kembali normal, dengan asumsi dimana tahapan untuk memotong produksi Juli-Desember 2020 pemangkasan sebanyak 7.7 juta barel minyak per hari tetap dilakukan,” tuturnya kepada Kompas.com, Senin (13/4/2020).

Kendati demikian, Mamit mengakui, jumlah pemangkasan tersebut belum sesuai dengan keinginan pelaku pasar.

Pasalnya, permintaan terhadap minyak dunia juga tengah mengalami pelemahan akibat pandemi virus corona yang masih berlangsung.

“Memang pemangkasan ini masih diluar harapan dimana pasar menginginkan paling tidak 12 juta barel per hari agar harga bisa rebound,” ujarnya.

Oleh karenanya, meski dari sisi supply berhasil ditekan, namun ia memprediksi permintaan minyak belum akan kembali ke level normal dalam waktu dekat.

“Dengan kondisi hampir semua negara besar mengalami pandemik korona,maka demand tetap akan berkurang meskipun produksi di pangakas 9.7 juga barel per hari,” ucapnya.

BBM Dalam Negeri Harusnya Diturunkan

Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, mengatakan turunnya harga minyak dunia seharusnya diiringi penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, terutama jenis BBM Premium.

Alasannya, kata Rudi, harga keekonomian BBM misalnya pada jenis Premium, juga ikut turun. Menurut hitungannya, harga keekonomian BBM Premium turun dari Rp 8.400 per liter menjadi sekitar Rp 4.800 hingga Rp 5.000 per liter.

“Harga keekonomian (BBM Premium) saat ini sekitar Rp 5000. Dulu nilai keekonomiannya Rp 8.400,” kata dia kepada kumparan, Sabtu (11/4).

Rudi menjelaskan, angka keekonomian BBM Premium mencapai Rp 8.400 itu merupakan harga saat minyak mentah periode tahun 2012.

Kala itu harga minyak mentah diasumsikan berada di level USD 105 per barel, dengan kondisi nilai tukar rupiah masih kuat di level Rp 10.000 per dolar Amerika Serikat.

Sedangkan saat ini kondisi pasar global sangat jauh berbeda. Rupiah melemah terhadap AS di level Rp 16.000 dan harga minyak dunia diasumsikan USD 40 per barel.

“Jadi Rp 8.400 x Rp 15.000 / Rp 10.000 × USD 40 / USD 105 = Rp 4.800. Itu semua sudah termasuk PPn dan keuntungan Pertamina 10 persen,” terangnya.

Karena Indonesia sudah lama menjadi negara pengimpor minyak mentah dan BBM (net importir), Rudi menilai kondisi ini akan berefek pada APBN yang tidak dapat surplus dari sektor minyak dan gas.

Keadaan saat ini, kata dia, bakal mengakibatkan defisit karena konsumsi BBM semakin tinggi, sementara produksi makin turun.

Pemerintah  hingga saat ini belum mengambil keputusan untuk menurunkan harga BBM Premium ataupun harga BBM Solar yang disubsidi. Saat ini BBM Premium masih dijual Rp 6.450 per liter.

Padahal, pada Rabu (18/3) lalu, Presiden Jokowi meminta para menterinya mengkalkulasi rencana penurunan harga BBM subsidi maupun nonsubsidi.

Jokowi menekankan harga BBM bakal turun seiring dengan merosotnya harga minyak dunia ke level USD 30 per barel.  

“Saya minta kalkulasi dihitung dampak dari penurunan ini pada perekonomian kita terutama BBM, baik BBM subsidi dan nonsubsidi,” kata Jokowi kala itu.

Artikel Terkait